🎇 Pertanyaan Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
SejarahPengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia Pada masa Hindia Belanda, tidak dikenal Pengadilan Tata Usaha Negara atau dikenal dengan sistem administratief beroep. Hal ini terurai dalam Pasal 134 ayat (1) I.S yang berisi: Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-Undang; Pemeriksaan serta penyelesaian perkara
KUNJUNGANICON + DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA KENDARI. Pada Hari Selasa, 12 Oktober 2021 PTUN Kendari menerima kunjungan dari icon + . Kunjungan mereka disambut hangat oleh Ketua PTUN Kendari Bapak Hariyanto Sulistyo Wibowo, S.H. Bersama Sekretaris Bapak Sawaluddin, S.H. dan Kasub Keuangan dan Umum Ibu Enny Winna Ningsih S.H. dan juga Kasub
LaporanPerkara Putusan Tingkat Pertama Tahun 2021. Laporan Perkara Putusan Tingkat Pertama Tahun 2020. Laporan Perkara Putusan Tingkat Pertama Tahun 2019. Laporan Perkara Putusan Tingkat Pertama Tahun 2018. Laporan Perkara Putusan Tingkat Pertama Tahun 2017. Agustus 2022.
PeradilanTata Usaha Negara - Hukum. Karena itu, diundangkanlah Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kata perubahan dalam undang-undang ini, berbeda pengertiannya dengan pergantian Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang
LatarBelakang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram (PTUN Mataram) Sebagai berwujudan Indonesia sebagai Negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan untuk melaksanakan amanat Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan) juncto Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan
2 Diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) di lingkungan peradilan tata usaha negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara (Pasal 1 angka 1 UU 51/2005 dan Pasal 4 UU 9/2004). 3.
7) Putusan pengadilan tata usaha negara bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. (8) KPU wajib menindaklanjuti putusan pengadilan tata usaha negara paling lama 3 (tiga) hari kerja. SUMBER : PASAL 471 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM
BUKUHUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA KARANGAN YUSLIM Rp 133.950. Rp 141.000 5%. Deskripsi Produk Merk: no brand Fitur: Dijual oleh:
Sebagailembaga yang menjadi salah satu unsur dari tegaknya negara hukum, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berupaya menjadi penengah dalam sengketa yang terjadi antara Badan/Pejabat Pemerintahan dengan masyarakat. Keterbatasn kompetensi yang dimilikinya menjadikan PTUN masih jauh dari kata maksimal dalam upaya perlindungan hak-hak masyarakat, terutama berkaitan dengan pelayanan publik.
Apalagikalau kita berpatokan pada bunyi Undang-undang Republik Indonesia No 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Bab VII mengenai Ketentuan Penutup Pasal 144 menyatakan bahwa: Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Peradilan Administrasi Negara. Dari bunyi pasal ini jelas pada kita bahwa Hukum Tata Usaha Negara itu sama
NegaraRI adalah negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka termasuk di dalamnya ada Peradilan Tata Usaha Negara.1 Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat dengan PTUN) dibentuk dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat pencari keadilan, yang merasa
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan terakhir kali diubah dengan Undang Kirim Pertanyaan Baca Disclaimer. Atau. Chat Sekarang. Mulai dari Rp
mhdZIb. Pengertian Peradilan Tata Usaha NegaraSudikno mengatakan bahwa Peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara. Hal itu sesuai dengan kata dasar peradilan yang terdiri dari kata adil dan mendapatkan awalan per- dan akhiran -an, yang berarti segala sesuatu yang bertalian dengan pengadilan. Pengadilan di sini bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan juga memiliki pengertian yang abstrak, yaitu hal memberikan keadilan Sudikno Mertokusumo, "Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya", hlm. 2-3.Riawan Tjandra mendefinisikan bahwa istilah Peradilan Tata Usaha Negara dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses atau aktivitas hakim tata usaha negara yang didukung oleh seluruh fungsionaris pengadilan dalam melaksanakan fungsi mengadili baik di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara maupun di Mahkamah Agung MA. Istilah Pengadilan dapat didefinisikan sebagai lembaga yang melaksanakan peradilan Riawan Tjandra, "Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terwujudnya Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa", Yogyakarta Liberty, 2009, hlm. 15.Prajudi Atmosudirjo mendefinisikan Peradilan Administrasi Negara adalah setiap bentuk penyelesaian dari suatu perbuatan pejabat, instansi Administrasi Negara yang dipersoalkan oleh warga masyarakat, instansi masyarakat perusahaan, yayasan, perhimpunan, dan sebagainya atau sesama instansi pemerintah Prajudi Atmosudirjo, "Administrasi Negara", Jakarta Ghalia Indonesia, 1994, hlm. 21.Menurut Sjachran Basah Sjahran Basah, "Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia", Bandung Alumni, 1997, hlm. 64, Peradilan Administrasi dibagi menjadi 2 dua, yakni terdiri dariPeradilan Administrasi Murni; dan Peradilan Administrasi Semu. Peradilan Administrasi MurniAdapun yang menjadi ciri dari Peradilan Administrasi Murni, yaituYang memutus sengketa tersebut adalah hakim;Penelitian terbatas pada rechtsmatigheid keputusan administrasi;Hanya dapat meniadakan keputusan administrasi atau apabila perlu memberikan berupa uang ganti rugi tetapi tidak membuat keputusan lain yang menggantikan keputusan administrasi yang pertama;Terikat pada pertimbangan fakta-fakta dan keadaan pada saat diambilnya keputusan administrasi dan atas itu dipertimbangkan rechtsmatigheid-nya; danBadan yang memutuskan itu tidak tergantung atau bebas dari pengaruh badan-badan lain apapun juga. Peradilan Administrasi SemuMengenai ciri Peradilan Administrasi Semu menurut Sjachran Basah, yaituYang memutuskan perkara adalah instansi yang hierarkis lebih tinggi dalam suatu jenjang secara vertikal atau lain daripada yang memberikan putusan pertama;Meneliti doelmatigheid dan rechtsmatigheid dari keputusan administrasi;Dapat mengganti, merubah atau meniadakan keputusan administrasi yang pertama;Dapat memperhatikan perubahan-perubahan keadaan sejak saat diambilnya keputusan, bahkan juga dapat memperhatikan perubahan yang terjadi selama prosedur berjalan;Badan yang memutus dapat di bawah pengaruh badan lain, walaupun merupakan badan di luar hirarki. Dalam simposium Peradilan Tata Usaha Negara pada kesimpulannya dijelaskan bahwa Peradilan Semu administratieve beroep belum menjamin proses yudisiil yang murni dan obyektif, mengingat hal itu masih berlangsung dalam susunan pejabat eksekutif dan oleh karena itu pula maka administratieve beroep belum merupakan Peradilan Tata Usaha Negara yang sesungguhnya. Dalam artikel ini Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud adalah Peradilan Administrasi Murni yang diselenggarakan langsung oleh Pengadilan Tata Usaha Negara M. Hadin Muhjad. "Beberapa Masalah Tentang Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia", Jakarta Akademika Pressindo, 1985, hlm. 37.Dengan demikian, sebagai perwujudan konsep negara hukum Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai peranan yang menonjol, yaitu sebagai lembaga pengawas kontrol terhadap jalannya fungsi eksekutif, lebih khusus lagi terhadap tindakan Pejabat Tata Usaha Negara supaya tetap berada dalam koridor aturan hukum. Sementara, disisi lainnya ia sebagai wadah untuk melindungi hak individu dan warga masyarakat dari perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Negara Paulus Effendi Lotulung, "Hukum Tata Usaha Negara ……", hlm. 1.Demikian penjelasan singkat mengenai Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Kritik dan sarannya sangat diperlukan untuk membantu kami menjadi lebih baik kedepannya dalam menerbitkan artikel. Terima kasih.
Dalam kerangka pemikiran negara hukum adanya peradilan administrasi negara, pada hakekatnya merupakan konsekuensi logis dari asas pemerintah berdasarkan pada undang-undang wetmatigheid van het bestuur. Bagi bangsa Indonesia adanya Peradilan administrasiini merupakan peradilan yang dinilai masih muda, serta mengandung ketentuan-ketentuan dan konsep prosedural yang bersifat universal, namun penerapannya haruslah sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, demikian diungkapkan penulis dalam tulisan ini. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Peradilan 579 PERADIIAN TATA USAHA NEGARA DALAM KAITANNYA DENGAN RECHTSSTAAT REPUBLIK INDONESIA * Oleh Paulus Effendi Lotulung Dalam kerangka pemikiran negara hukum adanya peradilau administrasi negara, pada hakekatnya merupakan konsekuensi logis dari asas pemerintah berdasarkan pada undang-undang wet-matigheid van het bestuur. Bagi bangsa Indonesia adanya Peradilan administrasi ini merupakan peradilan yang dinilai masih mnda, serta mengandung keten-tnan-ketentuan dan konsep prosedural yang bersifat universal, namun pene-rapannya haruslah sesuai dengan .Dilai-niIai . yang hidup dalam masyarakat Indonesia, demikian diungkapkan penulis dalam tulisan ini. Pengantar Dalam kerangka pemikiran negara hukum rechtsstaats gedachte sebagaimana yang pernah kita baca dalam literatur, maka adanya peradilan administrasi pada hakekatnya suatu akibat atau konsekuensi logis dari asas bahwa pemerintahan harus didasarkan pada undang-undang wetmatigheid van het bestuur, bahkan dalam pengertian lebih luas lagi, yaitu harus didasakan pada hukum rechtmatigheid . • Disampaikan Pada Seminar Ketatanegaraan Dalam Rangka Memperingati Hari lahimya Prof. DjokosoeloDo, tangga15 6 Desember 1991, di Auditorium DjokosoetoDo FHU1 -Depok Desember 1991 580 Hukum dan Pembangunan Disini kita dinggatkan kembali pada perkuliahan aim Prof. Djokosoetono yang mebahas segi perkembangan rechtsstaatgedachte yang berlaku di 1erman dibandingkan dengan perkembangannya di Sekaalipun keduanya termasuk dalam paham yang sarna, yaitu adanya rechtsstaatgedachte, namlJn antara keduanya terdapat divergensi maupun similaritas, yang disebabkan karen a adanya perbedaan struktur politik, keadaan ekonomi, sosial, dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan negara-negara . Eropa Kontinental lainnya yang menganut paham rechtsstaat, seperti Nederland. Namun apabila kita berpatokan pada pengertian Rechtsstaat atau negara Hukum secara formal sebagaimana dikemukakan oleh Friedrich 1ulius Stahl, yang menolak paham monarchi absolut dan menghendaki bentuk negara menurut hukum, dimana terdapat 4 unsur yaitu 1. Pengakuan hak-hak dasar manusia. 2. Adanya pembagian kekuasaan scheiding 3. Pemerintahan yang berdasarkan peraturan hukum dan perundang-undangan wetmatigheid van het bestuur. 4. adanya peradilan administrasi. Maka peradilan administrasi merupakan salah satu pilar dan salah satu dri dari negara Hukum. Apabila diatas dikatakan bahwa adanya 4 unsur tersebut merupakan suatu konsekuensi logis dari adanya unsur ke-tiga maka peradilan administrasi mempunyai peranan yang menonjol yaitu sebagai lembaga kontrol atau pengawas agar tindakan-tindakan hukum dari bestuur pemerintahan tetap berada dalam rei hukum, disamping sebagai pelindung hak wagra masyarakat terhadap penyalahgunaan wewenang atau kesewenang-wenangan oleh aparatur pemerintahan. Disinilah tampil peranan peradilan administrasi sebagai salah satu lembaga • Controle de I' Administration et la protection des citoyens menu rut Prof. Gug Braibant dari Conseil d'Etat Perands. 2 1 Harun AJ Rasid. Hukum Tala Negara I HimpUDan KuJiab Pr-ot. Djoko Soelono, Jakarta Gbalia Indonesia, 1959, balaman 84. 2 Guy Braibant Cs, Le Controle de L' Administratioo. Et la ProtectiOD des Citoyens, Paris Edition baI57. Desember 1991 Peradilan 581 Dengan demikian sebagai suatu lembaga kontrol terhadap pemerintah maka pengawasan yang dilakukan oleh peradilan asministrasi menunjukan ciri-cirinya yang khusu dibandingkan dengan lembaga kontrol lainnya, misalnya pengawasan fungsional ataupun pengawasan melekat dalam tubuh administrasi internal control, atau pengawasan politis oleh lembaga-lembaga perwakilan rakyat dan lain-lain. Ciri-ciri yang melekat pada lembaga pengawasan di tangan peradilan administrasi, yangt dapat kita sebut sebagai suatau "judicila Control" adalah terutama 1. Bahwa pengakuan itu bersifat external control, karena dilakukan oleh suatu lembaga yang berada di luar kekuasaan eksekutif. 2. Bahwa pengawasan itu lebih menekankan pad a tindakan represif atau lazim disebut control a-posteriori. 3. Bahwa pengaawasan itu bertitik tolak pada segi legalitas dari tindakan pemerintah yang dikontrol, yaitu penilaian apakah tindakan tersebut bersifat rechtmatig atau tidak. Sesuai dengan ciri-ciri tersebut diatas maka dapat dinilai kadar effisiensi dan effektivitas dari judicial control apabila dibandingkan dengan lembaga-lembaga kontrol yang lain terhadap pemerintah. Namun perlu diingat dan disadari bahwa suatu judicial control tidak selalu harus berada di tanan peradilan administrasi yang terpisah dari peradilan umum, sebab seperti halnya di negara-negara yang mendasarkan pada sistem Anglo-Saxon yang menerapkan prinsip Rule of Law, maka peranan kontrol itu berada di tangan peradilan biasa melalui judicial review. Disini kita juga diingatkan pada perkuliahan almarhum Prof. Djokosoetono ten tang perbedaan maupun persamaan antara paham Rule of Law dengan Rechtsstaatgedachte, yang masing-masing memrunyai . konsekuensi sendiri-sendiri dalam sistem paradilan yang diterapkan. Dengan menyadari bahwa pada dasamya paham Rechtsstaatgedachte adalah terutama stressingnya pada perlindungan individu sehingga bertitik berat pada paham individualismemaka sering dipertanyakan orang apakah 3 Bandingkan juga dengan makalah yang berjudul Negara Hukum, Oleh Prof. Oemar Sena Adji SH, dalam Simposium Kebanglcit3n Seman gat 66, diseleoggarakan oleh Universitas Indonesia pada tanggal 69 Mei 1966 di Jakarta. Desember 1991 582 HuJaun dan Pembangunan hakekat peradilan administrasi itu sebetulnyahanya cocok untuk paham individualisme ? Bukankah seolah-olah di peradilan administrasi tersebut terdapat adanya posisi yang konfrontatif antara warga burger dan citoyen disatu pihak yang lebih lemah melawan aparatur pemerintah atau penguasa di lain pihak ? Bagaimanakah penerapan suatu idee peradilan administrasi di negara yang masyarakatnya tidak memberi tempat yang mutlak pada paham individualisme dan liberalisme? Dalam rangka dan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan itulah, menurut hemat penulis, relevansi dari judul tulisan ini. Tulisan ini dimaksudkan hanya sebagai penjabaran secara umum saja dengan kesimpulan umum untuk nantinya dibahas secara mendalam pada tahap diskusi. Peradilan Tata Usaha Negara Pelaksana Kekuasaan Kehakiman dl Indonesia Da!am penjelsana undang-undang Dasar 1945 telah dicantumkan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum Rechtsstaat bukan didasarkan pada kekuasaan machtstaat. Setelah melalui perjalanan kurun waktu panjang sejak Indonesia merdeka, dan selama itu sudah ada beberapa usaha serta rancangan undang-undang4 maka akhimya pada tanggal29 Desember 1986 . disahkanlah Undang-undang Nomor 55 Tahun 1986 tentang Peradilan Administrasi Negara. Selaindari pada itu didalam pasal 145 disebutkan bahwa penerapannya akan dilaksanakan seJambat-lambatnya lima tabun sejak undang-undang ini diundangkan. Maka dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1990 tanggal 30 Oktober 1990 dibentukJah Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta, Surabaya, Medan , Palembang dan Ujung Partdang. 4 Uotut leogupoya clapat dibaca clalam mablah Prof Dr. IsmaU Suoy, SM, Ma.. 'Puaoao P11JN DAiam Negara Hukum Republit IndoDcsia, tanggal 16-9-1991, dalam kuliah Program Spesialis P11JN, FHUI. Peradilan 583 Secara praktis badan-badan peradilan yang baru tersebut mulai operasional pada awal februari 1991, sehingga samapi sekarang umumya barulah sekitar 10 bulan. Dari konsiderans UU No. 5/1986 tersebut dapat dilihat bahwa " Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasrkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan para warga masyarakat" . Dari pertimbangan tersebut diatas maka pertarna-tama tujuan idealnya dalam rangka membentuk Peradilan Tata Usaha Negara selanjutnya disebut PTUN adalah konteks adanya hubungan yang serasi, seimbang serta selaras antara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan wagra masyarakat, disarnping tujuan ideallainnya. Oleh karen a itu menurut hemat Penulis merupakan salah satu karakteristik dari suatu peradilan administrasi di dalam alam rechtsgedachte di Indonesia, yang oleh almarhum prof. Oemar Seno Adji SH, pemah dalam salah satu makalah beliau dikemukakan bahwa Negara Hukum di Indonesia bisa disebut sebagai Negara Hukum Didalam asas keserasian, keseimbangan serta keselarasan tersebut diatas mengandung pula adanya idee keseimbangan antara kepentingan individual dengan kepentingan umum yang menyangkut orang ban yak. Sebingga bukanlab semata-mata perlindungan individu yang ditonjolkan selaipun mengalahkan kepentingan umum, tetapi sebaliknyajugajanganlab sampai alasan kepentingan umum menjadi dalih untuk merugikan menekan dan merugikan bak individu dalam masyarakat. Peranan PTUN justru dibarapkan sebagai regulator dari tindakan-tindakan Pemerintab sehingga dapat dijamin tertibnya pelaksanaaan pembangunan itu sendiri, sebab berhasilnya pembanguna di bidang bukum merupakan bagian pula dari tujuan keberbasilan 5 Ibid balaman 10 6 Dr. Paulus EffeDdi Lotulung, SM, 8eberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hokum Terhadap Pemeriotah, Jakarta P'TBhuana llmu Populer. 1986, balaman 95-96. Desember 1991 584 HuJcum dan Pembangunan Inilah yang membedakan P11JN di Indonesia dengan . peradilan administrasi di negar-negara yang sudah berkembang dan mel!1punyai paham individualisme-liberalisme sertamempunyai latar belakaang falsafah dan budaya serta sosial-politik yang berbeda dengan kita, seperti misalnya di Perancis, Nederland, lerman, dan sebagainya, yang rata-rata . sudah mengalami perkembangan peradilan administrasi jauh lebih lama daripada kita. Namun sebenarnya, apabila dikatakan secara mutlak bahwa dalam praktek paham Individualisme tersebut diterima seutuhnya di negara-negara tersebut, misalnya di Perancis, men\lrut hemat penulis adalah juga tidak selalu demikian, bahkan dalam perkembangan yurisprudensi dari CODSell d'Etat ada kecenderungan untuk melihat kepentingan individu itu dalam skala yang lebih besar dalam hubungannya dengim kepentingan umum atau kepentingan orang banyak yang harus lebih dilindungi, hal mana pada beberapa tabun terakhir ini muncul dengan adanya teori yang dalam yurisprudensi peradilan administrasi di negara tersebut dikenal dengan sebutan theorie du bllan. Ide dari teori ini sebenarnya sudah mengarah pula pada adanya keseimbangan dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan masyrakat. Sebaliknya dari segi lain, apabila kita perhatikan memang dari ketentuan beberapa pasal dalam undang-undang no. 5 tabun 1986 tersebut tercermin adanya prinsip-prinsip yang bersifat universal, yang juga diterapkan di beberapa negara yang mengenal adanya peradilan administrasi , misalnya antara lain Pasal 53 ayat 2 sub b dan c yang merupakan cuplikan dari kaidab-kaidah hukum tidak tertulis yang disebut sebagai Azas-azas Umum Pemerintahan Yang Baik di Nederland dikenal sebagai "A1gemene Begiselen van Behoorlijk Bestuur Pasal tersebut mengatur tentang alasan-alasan untuk mengajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 62 dan pasal 63, ten tang penelitian gugatan dismissal process dan pemeriksaan persiapan voorbereidend onderzoek. Pasal 67 ayat 2 tentang kemungkinan adanya penundaan atau scborsing terbadap pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara yang sedang digugat. Dalam praktek mengenai penereapan kedua pasal tersebut diatas sering terjadi adanya proses pendekatan. Peradilan 585 antara kedua belah pihak yang berperkara untuk sedapat-dapatnya mengusahakan adanya perdamaian di luar persidangan berdasarkan musyawarah, yang apabila berhasil akan diselesaikan dengan eara pencabutan gugatan Penggugat di Pengadilan. Disamping itu pula adanya ketentuan-ketentuan pasal yang bersifat orisinil Indonesia sesuai dengan prinsip dan falsafah kita, yaitu terutama apabila diperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai masalah seksekusi putusaan hakim PTUN vide pasal 109 ayat 1 dan pasal 116 ayat 4. Dalam pasal 109 tersebut dieantumkan putusan pengadilan harus diberi judul "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hal ini mencerminkan sila pertama dari Pancasila sedangkan dalam pasal 116 ayat • 4 terkandung adas pendekatan secara musyawarah melalui instansi atasan dari pejabat yang harus melaksanakan eksekusi. Penerapan Dalam Praktek PTUN Mengingat bahwa usia PTUN masih sangat muda sekali sebagai si bungsu yang baru lahir dan baru beroperasional kurang lebih 10 bulan dan mengingat pula jumlahnya yang belum merata dibentuk diseluruh wilayah tanah air kita, maka tentuliya belum dapat penulis sajikan gambaran yang menyeluruh dan lengkap , melainkan apa yang penulis kemukakan disini adalah sekedar yang penulis alami langsung dalam tugas penulis di Jakarta, yang memang menurut statistik dibandingkan dengan PTUN lainnya, PTUN Jakarta menduduki tempai teratas dalam hal banyaknya jumlah gugatan yang masuk serta variasi jenis perkaranya sampai bulan November yang lalu sudah lebih dari 130 perkara yang masuk, denganjenis sengketa peru mahan dan pertanahan yang menonjol jumlahnya. Dari segi prosedural yang berjalan dalm praktek, terutama dalam masalah penerapan pasal ten tang penundaan vide pasal 67 ayat 2, tampaklah bahwa prinsip keselarasan dan keseimbangan antara kepentingan warga dan kepentingan umum yang diwakili oleh pemerintah merupakan azas yang tepat untuk dijadikan tolok ukur, sehingga dalam praktek selama ini belum tampak adanya kendala-kedala atau problem yang negatif. Desember 1991 586 Hukum dan Pembangunan Demikian pula dari segi bukum materiil, sekalipun pengertian Azas-azas Vmum Pemerintab Yang Baik AAVPB pada dasamya diilbami dari ALgemene Beginselen van Beboorlijk Bestuur di Nederland, yang dikenal juga di Perancis dengan istilab "Ies principes generaux du droit contumler pubUc, atau dalam babasa Inggris yang berdasar bukum Anglo Saxon dikenal dengan sebutan " the principles of. natural justice", namun dalam pelaksanaannya di Indonesia digali juga dari nilai-nilai kebidupan yang tumbub daalam masyarakat Indonesia sendiri, yang dijabarkan dalam butir-butir yang terkandung dalam Ekaprasetya Pengamalan Pancasila , misalnya antara lain butir tentang larangan untuk • bertindak semena-mena terbadap orang lain, serta bersikap adil, dan sebagainya 7, yang barus juga diterapkan oleb pejabat Tata Vsaba Negara yang menjalankan tugasnya yang bersifat pelayanan masyarakat public service. Memang pada dasrnya judicial control ini lebib ditekankan pada segi penyelenggaraan kesejabteraan sosial dan pelayanan masyarakata public service dari negara dan bukannya pada segi penyelenggaraan kebidupan negara kebidupan politik8, yang nanti dalam perkembangan yurisprudensi kita akan tampak , seperti halnya pengertian "Actes du government' di Perancis. Tapi tidak semua azas yang terkandung dalam ABB di Nederland itu cocok untuk diterapkan di Indonesia dan sesuai dengan kepribadian bangsa kita, misalnya "asas mengahargai dan menghormati pandangan hidup seseorang", kiranya kurang cocok bagi bangsa kita yang berpandangan hidup Pancasila. Walaupun asas tersebut memang cocok untuk masyarakat Barat yang berpabam individualisme dan bagi mereka bal itu merupakan salab satu asas ABBB yang harus diperbatikan oleb pemerintab. Disini barus dituntut adanya kearifan bakim untuk tidak secara bulat menerima dan menerapkan pengertian-pengertian ataupun doktrin yang berlaku dalam bukum administrasi negara yang berasa dari Barat ataupun pabam yang tidak sesuai dengan pola berpikir dan penghidupan bangsa kita pada umumnya. 7 Makalah Anlrullah Salim SH, yang berjudul "Menggali Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945', halaman 4-5. 8 Bandingkan dengan Indooesia Nepra Berdasarkan Alas Hukum, Oleh Prof. Padmo WahjODO, SH. Penerbit Gbalia Indonesia. 1983, balaman 127. Peradilan 587 Kesimpulan Umum 1 Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara merupakan pengejewantahan dari pengalruao sifat Negara Hulrum dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945. 2 Sekalipun negara kita termasuk dalam pabam Recbtsstaat, namun isi dan penjabaran pabam tersebut dalam praktek haruslah sesuai dengan falsafah bangsa kita, seperti halnya juga Recbtsstaat bagi negara-negara lain adalah diterapkan sesuai dengan falsafah bangsa yang bersanglrutan. 3 Karenanya juga sekalipun Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia mengandung ketentuan-ketentuan dan konsep-konsep prosedural yang bersifat universal, namun pengisian dan penrapannya baruslab sesuai dan bersumber pada nilai-nilai yang bidup dalam masyarakat Indonesia. 4 Adalah terletak dipundak para Hakim Tata Usaha Negara untuk menggali nilai-nilai yang bidup dalam masyarakat tersebut untuk diterapkan dalam putusan-putusannya sehingga akan menjadi yurisprudensi Peradilan Tata U saba Negara yang sesuai dan akan mengisi pelaksanaan Negara Hukum Republik Indonesia, sebingga akan didapatkan perumusan asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik AAUPB yang sesuai dan cocok untuk Indonesia. Engkau jelas bersalah jika melakukan penindasan Dan engkau dapat pula bersalah jika membiarkan penindasan Erasmus Darwin Desember 1991 Sonyendah RetnaningsihDisriani Latifah Soroinda NasutionHeryna Oktaviani Muhammad Rizqi Alfarizi RamadhanHistorically, State Administrative Court PTUN has existed since 1986, with the enactment of Law Number 5 of 1986 concerning State Administrative Court which currently has been amended by Law Number 9 of 2004 concerning Amendment to Law Number 5 of 1986 concerning State Administrative Court and amended again by Law Number 51 of 2009 concerning the Second Amendment to Law Number 5 of 1986 concerning State Administrative Court. The role of the Administrative Court according to the explanation of the law, the PTUN functions as a control or supervisory agency thus legal actions from government officials do not deviate, in addition to protecting the rights of citizens from the actions of officials who abuse their authority or act arbitrarily. Currently, the object of dispute and can be sued at the State Administrative Court is only a State Administration decision reduced by the exceptions stipulated in Article 2 and Article 49 of the PTUN Law. The provisions of Article 3 of the Administrative Court Law No. 5 of 1986 on negative fictitious could potentially no longer be enforced since the enactment of Article 53 of the AP Law which stipulates positive fictitious. Since the promulgation of Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration hereinafter referred to as AP Law on 17 October 2014, there has been a change in the legal criteria from the government written stipulation beschikkingen which was initially restrictive and can be sued to the PTUN, yet it has recently become extensive which was originally mere beschkking, currently it almost covers all variations of besluiten. With the enactment of the AP Law, there will be an expansion of absolute competence and objects of state administration disputes, as stipulated in Article 87 of the AP Law which includes first, Government Administration Decrees, as stipulated in Article 1 point 7 of the AP Law; second, Government Administration Actions Based on Article 1 point 8 of the AP Law. Furthermore, with the enactment of the Supreme Court Regulation Number 2 of 2019 concerning Guidelines for Government Action Dispute Resolution and the Authority to Adjudicate Unlawful Conducts by Government Agencies and/or Officials onrechtmatige overheidsdaad / OOD, the judicial power shall transfer from the General Court to the State Administrative Court. This crucial matter continues to be the groundwork and reason for conducting the current research entitled the expansion of the state administration dispute object after the enactment of Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration and the supreme court regulation Perma Number 2 of 2019 concerning Guidelines for Government Action Dispute Resolution and Authority to Adjudicate Unlawful Conducts by the Government Agencies and/or Officials onrechtmatige overheidsdaad / OOD. Conducted through normative juridical research method, this research-based paper examined the interviews through judges at PTUN Jakarta and Bandung and the main data source within this qualitative analysis serves as the secondary data or literature Fauzi HarahapLahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjadikan objek gugatan Peradilan Tata Usaha Negara semakin luas. Salah satunya adanya tindakan faktual yang termasuk ke dalam Keputusan Tata Usaha Negara. Pemberlakuan tindakan faktual menjadikan banyak interpretasi bagi penegak hukum dalam menentukan pelanggaran hukum yang dilakukan pejabat tata usaha negara. Tindakan faktual memberikan interpretasi yang beragam sehingga dapat menimbulkan penyalahgunaan kewenangan sehingga tidak terwujudnya good governance. Paradigma good governance memiliki prinsip akuntabilitas, sehingga segala perbuatan pejabat tata usaha negara dapat dipertanggungjawabkan. Salah satunya pertanggungjawaban di hadapan hukum karena telah mengeluarkan suatu keputusan tata usaha negara. Hal ini dapat mewujudkan tujuan dari good governance tersebut. Good governance selalu melekat dengan ciri negara hukum dan demokratis, segala tindakan pejabat tata usaha negara harus berdasar hukum. Oleh sebab itu, diperlukan peraturan pemerintah untuk memperjelas para penegak hukum dalam menafsirkan tindakan faktual. Pejabat tata usaha negara juga dapat menjalankan tugas sehingga good governance dapat AzzahraKehadiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 bahwasanya telah memperkenalkan istilah sanksi administratif sebagai bentuk upaya paksa meningkatkan kepatuhan pejabat dalam pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara PTUN. Adapun sebelumnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya menekankan pada prinsip self-respect pejabat pemerintah terhadap pelaksanaan putusan PTUN. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau pemberlakuan sanksi administratif terhadap pelaksanaan putusan PTUN berdasarkan teori efektivitas hukum serta menganalisis budaya hukum yang berkembang dikalangan pejabat pemerintah terhadap pelaksanaan putusan PTUN. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberlakuan sanksi administratif sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 belum dapat berjalan dengan efektif dikarenakan tidak adanya pijakan hukum yang jelas mengenai jenis dan mekanisme pemberlakuan sanksi administratif. Adapun mengenai budaya hukum yang berkembang, hal ini berkaitan dengan rendahnya kepatuhan pejabat pemerintah dalam pelaksanaan putusan PTUN yang kemudian menimbulkan preseden buruk dikalangan pejabat pemerintah, serta potensi untuk dilakukannya pembangkangan hukum oleh pejabat pemerintah. Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan teknis terkait jenis dan mekanisme pemberlakuan sanksi administratif melalui peraturan pemerintah guna efektivitas penegakan hukum dan kepastian hukum di bidang peradilan has not been able to resolve any references for this publication.
Lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara[1]. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
pertanyaan tentang peradilan tata usaha negara